Manusia dan Cinta Kasih

MANUSIA DAN CINTA KASIH

A Pendahuluan

Melalui media massa kita sering memperoleh informasi mengenai krisis pada berbagai aspek kehidupan. Ada krisis moneter, politik, hukum atau krisis kepercayaan dan seterusnya. Namun sangat jarang diberitakan tentang krisis cinta yang justru penting juga dibicarakan dalam kehidupan manusia. Karena masalahnya banyak dimanipulasikan dan disalahgunakan dewasa ini. Contohnya kalau seorang SMU hamil, secara spontan orang mengatakan “itu gara-gara cinta”. Kalau ditanya kepada sepasang muda-mudi, mengapa pada umur masih belia mau melangsungkan pernikahannya, dengan spontan dijawab : “Kami saling mencintai”. Begitu pula bila pemuda hidung ditanya, kenapa mencium wanita ditrotoar jalan, secara enteng dijawabnya : “Ah, biasa ini kan bagian dari permainan cinta”.

Cinta itu begitu populer dan merasuk ke segala lapangan kehidupan manusia. Buktinya terdapat sekian banyak lagu pop di Indonesia yang membawa tema cinta. Tetapi ungkapan dan pengertian cinta sering “ngawur”. Begitu pula terdapat cukup banyak kaset video dan film yang menyajikan tema cinta, padahal di dalamnya penuh adegan “biru” yang menampilkan seni manipulasi dorongan seks yang vulgar dan menjijikkan. Demikian pula di kalangan anak ABG, sering terdengar ungkapan perasaan yang serba puitis dalam berbagai bentuk surat ataupun mengeluarkan kata dengan gaya bahasa pasaran yang kasar mengenai tema cinta.

Tema cinta itu akhirnya seperti desiran angin yang membuai siapa saja demi suatu kepuasan yang sangat dangkal. Kata cinta diobral bagaikan stok barang yang tak pernah habis, tapi dalam artinya yang populer dan kasar, jauh dari persaan lembut, indah dan suci. Akibatnya cinta menurut pengertian yang sebenarnya sukar ditemukan. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan, sebab setiap orang menginginkan cinta sejati. Kebutuhan cinta dan kasih sayang merupakan suatu keniscayaan dalam hidup. Apabila tidak tersalurkan dengan wajar, jiwa manusia menjadi gersang. Hal ini akan mudah menimbulkan keberingasan pada seseorang dan membuatnya gampang dihasut untuk merusuh dan membanti sesama warga atau saudara sebangsa tanpa belas kasihan. Oleh karena itu melalui pembahasan di bawah ini kita perlu mencermati kembali makna cinta dan kasih sayang serta bagaimana menumbuhkannya pada generasi muda agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lembut, penuh kasih sayang.

B Wawasan Pengeritan Cinta

Menurut pengertian yang sederhana, hakekat “cinta” dipahami sebagai paduan rasa simpati antara dua insan. Rasa simpati pada manusia tidak terdapat hanya pada dua insan yang berlainan jenis saja (pria dan wanita) tetapi juga dapat muncul pada jenis yang sama, pria dengan pria seperti ayah dengan putranya atau ibu dengan putrinya.

Pengertian cinta dapat ditinjau lebih lanjut, melalui aspek usia dan aspek isinya :

a. Cinta menurut aspek usia yang memandangnya

Orang dewasa memahami cinta sebagai persaudaraan, keakraban, kasih sayang suami istri atau orang tua terhadap anaknya, kerjasama dan saling pengertian, mereka mengalami cinta sebagai korban atau sebagai pemaaf.

Disisi lain, para remaja membayangkan cinta sebagai perasaan kasih sayang orang tua terhadap dirinya. Konsep awal ini kemudian beralih pada rasa tertarik pada lawan jenisnya karena tekanan hormon sexual menimbulkan suatu perasaan yang bersifat emosional atau kecenderungan sexual kepada lawan jenis. Perasaan emosional itu disamakan dengan cinta walaupun barangkali yang membuat ia tertarik cuma bentuk lahiriah saja pada lawan jenisnya. Sebagai contoh : seorang siswa kelas III SMU di Medan menulis surat kepada teman sekelasnya yang bernama Tita yang kebetulan tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah Reja. Kutipan surat yang ditulisnya sebagai berikut : “Tita, cinta itu indah. Kemarin sore ketika Reja berpapasan denganmu di samping kantin sekolah, jantung ini rasanya mau copot dari rongga dadaku, alis matamu lembut seperti sebaris lily di bibir danau yang tenang, sinar matamu yang bening itu membuat aku terpaku, langkahku menjadi gontai untuk meneruskan jalanku ke perpustakaan. Tita, Reja benar-benar mencintaimu. Biarkan aku mengecupkan bibirku pada keningmu yang lembut itu”.

Melalui kutipan surat di atas terungkap kepada kita apa sebenarnya cinta menurut seorang remaja SMU. Yaitu suatu gambaran yang amat polos tentang perasaan yang sesewaktu muncul secara tak menentu dan mengandung pengertian yang terlalu marginal sifatnya.

b. Pengertian cinta ditinjau dari segi isinya

Bila ditinjau dari segi isinya cinta memiliki tiga tingkatan pengertian :

1. Tingkatan pertama, cinta yang bersifat erotis yang muncul karena dorongan nafsu sexual berdasarkan rangsangan atau daya tarik fisik. Bentuk ungkapan cinta yang sering kita dengar pada tahapan ini ialah : “Pakailah kalung ini sebagai tanda cintaku” atau “Ini photoku, terimalah tanda cintaku”. Bentuk ungkapan yang lebih kasar adalah : “love is sex” (cinta itu sex).

2. Tingkatan kedua, cinta yang bersifat persahabatan, kerjasama dan persaudaraan. Sering kita dengar ucapan, “cinta itu tak kenal lawan” atau “saya akan membutuhkan kehadiranmu pada ultah saya, biar persahabatan kita semakin kental dan bermakna”.

3. Tingkatan ketiga, cinta yang bersifat suatu penyerahan diri secara total. Cinta itu bukan lagi sekedar gerakan hati, tetapi kehendak untuk mengasihi dan rela berkorban apa saja (serpih ing pamrih). Pada tahap ini cinta melampaui ketertarikan fisik yang bercampur nafsu erotis atau sekedar persahabatan biasa, tapi sudah mencapai tingkat perasaan yang ingin memberikan dan mengorbankan segala-galanya demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Cinta tersebut telah melewati fase verbalisme semu karena dilahirkan dari sumbernya yang asli, yaitu kehendak untuk mengasihi tanpa syarat dan tanpa pamrih.

Dari uraian di atas dijelaskan bahwa kata cinta dalam Bahasa Indonesia yang sering digunakan memiliki konotasi (dari segi isinya) yang sangat umum dan kabur tanpa denotasi (cakupan luas pengertian) yang jelas dan tertentu maksudnya. Kata itu begitu umum sehingga nafsu ssex yang dangkal dan buta sekalipun disebut cinta. Persahabatan kental antara dua orang disebut cinta dan demikian juga suatu penyerahan diri secara total kepada orang yang dicintainya tanpa pamrih dengan kerelaan berkorban apa saja. Agaknya kata cinta tidak jelas konotasi dan denotasinya. Berbeda halnya dalam peradaban Yunani Kuno. Orang Yunani sudah sejak dulu mengenal peradaban yang tegas atas makna cinta yang mereka bagi ke dalam tiga bentuk yakni : eros, philia adan agape. Pengertian ketiga macam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Eros

Kata eros diambil dari nama dewi-cinta dalam peradaban Yunani Klasik. Konon Theogoni dari Hesiodus pada zaman Yunani kuno menceritakan bahwa dewa Eros menyebabkan perkawinan antara langit dan bumi yang menghasilkan bumi ini dari keadaannya yang kacau balau. Akan tetapi filosof Yunani yang bernama Plato di dalam filsafatnya menjelaskan bahwa eros adalah istilah untuk menunjukkan rasa cinta akan keindahan fisik yang tingkatnya berada pada level yang terbawah. Kemudian di zaman modern aliran Psiko-analisa mengatakan bahwa naluri eros adalah rangsangan kesenangan fisis melulu, karena pikiran dan tingkah laku manusia didominasi oleh dorongan “libido sexual”.

Adapun penulis H. Norman Wright dalam bukunya “Pilar of Marriage” mendefinisikan eros sebagai hawa nafsu kenikmatan atau keinginan sexual. Eros telah ada pada struktur biologis manusia sejak dilahirkan dan kemudian tekanan eros semakin menguat pada remaja, ketika hormon sexual terproduksi dalam tubuhnya. Kemudian Wright mengatakan eros itu tidak buruk tetapi dia harus dibimbing dan diarahkan ke tahap yang lebih tinggi, yaitu cinta dalam arti yang sesungguhnya (agape). Namun sayangnya banyak orang telah terperangkap menjadi korban cinta eros yang melulu berdasarkan pada nafsu sex yang dangkal, bersifat erotis dan egoistis, tidak mampu beranjak melampauinya ke tahap yang lebih tinggi dan mulia sesuai dengan perkembangan manusia dan perjalanan bahtera keluarga.

b. Philia

Philia berarti persahabatan, persekutuan yang didasarkan pada komitmen untuk membina kerjasama. Wright mengumpamakan perbedaan eros dengan philia sebagai berikut : “Eros adalah hubungan face to face (muka ke muka) sedangkan Philia adalah hubungan shoulder to shoulder (bahu membahu)”. Selanjutnya philia mencakup hubungan kerjasama antara suami istri, orang tua dan anak serta kerjasama antara saudara dan saudari atau hubungan simpati seseorang dengan sahabat kentalnya.

Jadi philia berarti teman yang bermitra dengan kita dalam suatu jalinan persahabatan yang ikhlas dan kasih sayang. Karena itu, untuk setiap perkawinan yang baik, selain faktor eros juga harus ada faktor cinta philia ini. Misalnya suami dan istri mampu saling mencintai dan ingin saling barbagi satu sama lian sebagai tanda saling melengkapi. Walaupun demikian cinta philia itu belum cukup menjelaskan makna cinta yang hakiki karena masih ada tahap cinta yang lebih tinggi lagi yaitu cinta agape.

c. Agape

Agape adalah cinta tahap tertinggi dalam artinya yang terdalam yang lebih bersifat spiritual serta didasarkan kesucian arti untuk memberikan segalanya. Bila eros melihat lawan jenisnya sebagai cinta nafsu dan philia mau menjadikan orang lain sebagai teman, sahabat setia, maka agape mengemukakan cinta sebagai satu penyerahan diri yang seutuhnya kepada yang dicintainya secara total. Agape adalah cinta mandiri tanpa ingat diri, suatu penyerahan diri secara menyeleruh (total commitment). Inilah cinta yang sebenarnya, akan tetapi agape ini tidak terstruktur pada manusia secara alamiah. Ia bukan cinta emosional dari seorang remaja. Kalau eros terstruktur dalam diri manusia sejak awal dan philia terdapat pada manusia karena kodratnya selaku makhluk sosial, maka agape adalah hasil proses pembelajaran dan pendewasaan atau kematangan budaya sesuai dengan kedudukannya sebagai “Homo Educandum”. Dengan demikian cinta agape lebih unggul dan bernilai, lebih menampakkan cinta dalam arti yang asli dan benar sebagai makhluk yang berbudaya. Cinta agape adalah cinta yang bersemi pada seseorang untuk menghadapi manusia lain dengan suatu kehendak mengasihi dan memberi syarat.

Dalam konteks seorang beriman, agape adalah kesanggupan mencintai yang dianugerahkan sang Pencipta kepada hamba-Nya supaya ia mampu melaksanakan cinta yang sesungguhnya antara seseorang terhadap orang lain secara benar dan mulia. Tahap cinta agape dapat dicapai melalui proses pembelajaran melalui perenungan, pengamalan dan penghayatan dalam kehidupan manusia.

Kesimpulan

Bahwa krisis pemahaman cinta tidak kalah hebatnya dari krisis lain yang melanda kita dewasa ini. Betapa seringnya cinta diturunkan pada tingkat emosi dan nafsu sex yang dangkal yang ternyata telah menjerumuskan ribuan orang dalam tingkah laku sexual yang sesat dan brutal dan mengakibatkan munculnya berbagai kasus kelahiran diluar nikah atau aborsi.

Pemujaan nafsu erotis dalam budaya modern telah menghasilkan istilah cinta adalah sex atau hubungan sex sebelum nikah, sehingga muncul tindakan premarital, free sex, masturbasi dan lain-lain.

Terdapat kegagalan cinta suami-istri. Peristiwa broken home persoalannya berakar dalam konsep cinta yang keliru. Oleh sebab itu cinta eros dan philia harus dibimbing ke tahap yang lebih luhur ke tingkat seseorang dapat mempersembahkan cintanya secara suci dan murni tanpa pamrih sebagai suatu penyerahan diri yang total. Krisis cinta yang melanda manusia dewasa ini harus ditangani dengan mengerahkan dan memurnikan konsep cinta yang sebenarnya sehingga setiap orang yang haus cinta dan mencintai mampu menempatkan kembali cinta dalam makna yang hakiki sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan mulia itu.

C Cinta Dalam Arti Empiris

Setiap orang yang memahami cinta tentu sesuai dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang bersangkutan mengenai cinta. Oleh karena itu dikatakan bahwa rasa cinta tergantung pengalaman masing-masing. Ada yang mengungkapkan penghayatan cinta sebagai “berjuta indahnya”. Ada juga yang mengartikan cinta dengan “memberikan dan bukan mendapatkan”, atau “merasa nikmat dalam kerinduan walaupun dalam kehidupan bersahaja”. Sebagaian lagi mengartikannya dengan “ingin”, atau “menginginkan sesuatu yang bergejolak dalam hatinya sementara dirinya merasa rindu”.

Semua pendapat itu memang benar dalam arti empiris. Kita pun dapat merasakan bahwa tiada keindahan yang sangat mempesona kecualil indahnya cinta. Begitu pula tiada hati yang murni dan ikhlas dalam memberi atau berbuat sesuatu tanpa dasar cinta. Sebab cinta merupakan dorongan emosional dan spiritual yang besar dan kuat untuk mencurahkan segalanya. Semakin besar curahan hati, semakin menggelora rasa cinta. Cinta begitu agung dan suci, semakin dipupuk kian melahirkan semangat dan gairah baru yang berkobar. Kendatipun demikian, cinta itu bukanlah seperti nyala api yang apabila disiram dengan air lantas padam. Apapun halangan dan rintangan yang ditemukannya cinta tetap berjalan dan pantang mundur serta pantang menyerah. Cinta tidak mengenal lelah dan dia pun tak pernah tidur kecuali yang bersangkutan sedang tidur. Itu pun kadang menjelma dalam sebuah impian yang indah. Cinta tak dapat diibaratkan dengan apapun dengan skala materi karena memang sifatnya abstrak. Ia merupakan kesadaran emosional dan kesadaran spiritual yang dalam, yang timbul dan berkembang secara kodrati. Cinta tak dapat dipaksa menuruti kemauan orang lain, karena “hinggap” nya pun tak pernah disadari kapan bermula secara pasti.

Sesungguhnya cinta itulah yang melahirkan pada manusia suatu perasaan hati bahagia, damai, tenteram, sejuk dan nikmat. Cinta pulalah yang melahirkan keyakinan, kepercayaan, ketabahan, kesabaran dan kekuatan mental-spiritual. Namun apabila suatu ketika cinta itu mengalami kendala dan terhalang oleh sesuatu yang disebut dengan “penghianatan” misalnya, tentu dia akan merana dan sempoyongan tak tentu arah yang kemudian melahirkan frustasi, amarah, benci, sedih dan duka, bingung dan dendam serta perasaan lain yang serba galau yang tak menyenangkan. Pada akhirnya bila tak bijak mengatasi krisis ini yang bersangkutan akan mengalami mala petaka.

Bila cinta terbendung yaitu, cinta yang semula suci dan mulia, setia dan ramah, halus, lembut dan putih tanpa noda tapi karena penghianatan tadi, maka cinta tersebut telah berobah dan bercampur-baur dengan lawan eksistensinya, yaitu kesucian dengan kekotoran atau kebaikan dengan keburukan. Cinta berobah menjadi dendam kesumat dan sakit hati, malah dapat membawa kematian. Dalam hal ini ada suatu kiasan yang menyatakan bahwa jika kebaikkan dicampur-adukkan dengan keburukan maka semuanya akan menjadi buruk. Demikian pula halnya dengan cinta. Ketulusan dan kemuliaan cinta menjadi ternoda.

Peristiwa ini terjadi karena dalam menyalurkannya justru tidak pada jalan atau jalur yang semestinya. Dapat dicontohkan disini, orang tua yang terlalu mencintai anak dengan cara membiarkan apa saja yang dilakukan walaupun telah melanggar nilai moral, maka dengan sendirinya anak tersebut tidak akan pernah menjadi manusia bermoral atau berbudi luhur.

Demikian pula seoran pemudi yang terlalu mencintai pacarnya kemudian dalam mewujudkan cinta itu ia lakukan dengan jalan bathil. Maka suatu saat nanti ia akan tersiksa dan merasa kecewa, berhubung sejak dini ia telah bersedia di nodai oleh lelaki yang bukan suaminya. Rasanya, tidak jauh berbeda seandainya ia mencintai yang lain, akan berulang hal yang sama. Kebanyakan orang memang sulit membedakan antara cinta eros atau nafsu dengan cinta agape. Memang dalam budaya kita sukar memisahkannya, bahkan sering terjadi “kamulfase” yang mempesonakan.

Demikian pula dalam kasus keimanan seorang hamba yang mencintai Tuhannya di luar jalur syariat yang telah ditetapkan, maka orang yang bersangkutan tidak akan pernah sampai pada yang hak atau hakekat tujuan syariat.

Jadi baik cinta orang tua terhadap anaknya, cinta seorang pemuda terhadap kekasihnya ataupun cinta seorang hamba terhadap Tuhannya, jika dalam rangka mengungkapkan atau merealisasikan cintanya itu tidak melalui prosedur yang semestinya, yakni dengan niat dan jalan baik, benar dan terarah, maka orang tersebut tidak akan pernah mencapai target yang dituju. Maksudnya pada saat tertentu, pasti akan terjebak jalan buntu yang penuh dengan berbagai resiko karena memang tidak ada kebahagiaan sejati apapun yang dapat dicapai dengan jalan maksiat, kecuali kebahagiaan semu setelah nikmat sesaat.

Oleh sebab itu perlu dipertegas lagi bahwa hakekat cinta adalah kesadaran spiritual dan emosional yang dapat melahirkan sejumlah kebajikan dan kebahagiaan sejati. Begitu pula sebaliknya, cinta bukanlah suatu yang menimbulkan seperangkat persoalan pelik dan membingungkan, melainkan cinta selalu akan mampu melempangkan jalan dan memberikan solusi berdasarkan kasih sayang.

Sebagai bukti empiris bahwa cinta dapat melahirkan sejumlah kebajikan dan kebahagiaan sejati, dapat kita temukan misalnya pada seorang siswa yang mencintai suatu mata pelajaran. Siswa tersebut akan belajar dengan tekun tanpa mengenal lelah dan akhirnya mendapat nilai prestasi yang tinggi, sekaligus ia pun mencintai dan dicintai oleh orang tua, guru dan semua temannya. Dan inilah merupakan kebaikan dan kebahagiaan utama.

Khusus bagi para remaja perlu disampaikan bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa cinta yang baik adalah yang tumbuh dan berkembang setelah diikat dengan tali perkawinan, karena cinta tersebut berproses dengan jalan yang syah, tidak mengalami tekanan dan intimdasi eksternal. Terlepas dari benar atau salah pendapat tersebut, yang jelas kita sering menyaksikan berbagai kehidupan cinta dengan peristiwa yang bervariasi. Ada yang semula tidak mencintai, akan tetapi setelah adanya perkawinan, cinta itu tumbuh dengan baik dan subur, mereka dapat hidup rukun dan damai. Sebaliknya, ada pula yang semula merasa sangat mencintai tetapi setelah perkawinan malah kian memudar dan membosankan, karena cinta tahap eros itu tak mampu ditingkatkan kepada tahap philia dan agape. Ada pula yang sejak semula mencintai dan selanjutnya setelah perkawinan, cinta mereka tetap terpelihara dengan baik dan mereka hidup rukun dan damai tanpa keretakan dan kesenjangan yang dapat memecah kelanggengan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Rumah tangga yang semacam inilah yang kita dambakan yang dalam istilah agama disebut “keluarga sakinah”.

Sesungguhnya bahwa proses cinta yang terakhir itulah merupakan manifestasi cinta yang tumbuh secara fitrah manusiawi, yang pada dasarnya fitrah itu sendiri adalah mencintai kebaikan dan membenci setiap keburukan. Jadi kalau yang terdapat pada diri seseorang, yakni mencintai keburukan seperti bergaul bebas dengan non muhrim tanpa mengenal batas yang telah ditetapkan syariat, mabuk-mabukan, kecanduan narkoba dan sebagainya, dengan tidak pernah merasa bersalah atau berdosa, itu berarti bahwa fitrah kemanusiaannya telah rusak dan hati nuraninya telah hancur. Kerusakan tersebut telah menodai cinta dan memperbesar nafsu kebinatangan yang mendominasinya sehingga mengakibatkannya mengalami kesengsaraan. Karena cinta nafsu adalah tahap eros yang paling rendah setahap dengan dorongan sexual yang terdapat pada binatang.

Untuk dapat mengembalikan fitrah itu kembali, hanya tersedia satu jalan yaitu bertobat dalam arti mensucikan dan memelihara dirinya dari kenistaan, di samping itu berikrar tidak akan mengulang perilaku maksiat pada masa yang akan datang dan harus merenungkan kembali makna cinta sejati dengan tahap-tahapnya sebagai anugrah sang Pencipta kepada manusia agar kita mampu menempatkan dan dapat merasakan kebahagiaan hidup dunia untuk sekali dan selamanya.

D Rasa Cinta Kasih Pada Anak

Setiap insan baik anak-anak maupun orang dewasa pada hakekatnya mendambakan untuk diterima dirinya, fisiknya, juga pribadinya sebagaimana adanya secara totalitas. Mereka membutuhkan untuk diterima secara keseluruhan dalam keluarga mereka dan lingkungannya.

Semua orang ingin bahwa orang tua dapat menerima kehadiran mereka dengan kelemahan dan kekurangan, beserta kelebihan-kelebihan yang ada. Sudah menjadi sunatullah dan ketentuan Tuhan bahwa anak-anak membutuhkan dan selalu mendambakan cinta kasih dan orang tua. Kebutuhan emosional seorang anak akan cinta kasih sama besarnya dengan kebutuhan fisik kepada makanan.

Dewasa ini, banyak keluarga lalai dalam mengungkapkan kasih sayang antara satu sama lain. Mereka lupa, bahwa bila seorang anak tumbuh dalam lingkungan hambar tanpa kehangatan hidup, tanpa kasih sayang, dengan sendirinya akan mengalami berbagai kesulitan dalam memberi dan menyatakan cinta mereka. Bagaimanapun juga, orang tua harus menyadari, apabila pada usia dini sudah dapat dipenuhi dengan kehangatan dan kasih sayang maka ia akan tumbuh secara wajar dan mudah mengungkapkan serta memberi cinta kasih terhadap sesamanya.

Cinta kasih adalah merupakan dasar pendidikan secara keseluruhan. Tanpa curahan kasih, pendidikan yang ideal tidak mungkin bisa berjalan. Selanjutnya pendidikan tanpa cinta akan menjadi kering, hambar dan bahkan tidak menarik. Dapat dilihat bahwa pada murid yang dididik oleh gurunya dengan penuh rasa kasih sayang tentu anak didiknya tidak akan pernah merasa bosan dalam menerima pelajaran. Sebaliknya, para guru akan selalu menyukai profesinya jika hati mereka dipenuhi rasa cinta kasih.

Untuk mengungkapkan perasaan cinta terhadap anak cukup banyak caranya. Tapi cara yang terbaik untuk menggugah rasa cinta dan aman pada anak-anak ialah dengan mengungkapkan rasa cinta tersebut secara terbuka. Apabila telah menanamkan rasa cinta terhadap anak, lalu mengajarkan kepada mereka untuk bisa mengasihi semua orang, maka berarti telah memberikan kepada mereka pelajaran pertama yang sangat penting. Kemudian, cara lain untuk mendidik anak-anak supaya dapat menghormati orang tuanya ialah dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melihat banwa antara bapa dan ibu juga memberikan perhatian, kasih sayang dan kemesraan. Dengan demikian si anak pun cenderung untuk mengidentifikasi diri terhadap apa yang dilihat dan dialaminya.

Suasana kelemah-lembutan, kasih sayang dan cinta yang dinyatakan dalam pandangan, pembicaraan ataupun dalam perbuatan dan sikap sehari-hari adalah mutlak diperlukan.

Hendaknya pantas dipelajari kembali bagaimana kehidupan sebuah keluarga pada generasi terdahulu. Mereka bersama-sama sanak keluarga lain seperti kakek, bibi dan sepupu tinggal saling berdekatan serta turut berpartisipasi dalam membimbing sanak keluarga yang lebih muda usianya. Mereka sebagai “keluarga besar” dapat hidup berazaskan pola tolong menolong dan cinta kasih sesama keluarga. Mereka selalu berupaya mencairkan ketegangan yang muncul diantara ornag tua dan anak. Berbeda halnya dengan kehidupan keluarga modern. Menurut DR. Benyamin Spock bahwa solidaritas keluarga besar seperti masa dahulu sudah semakin menghilang karena mobilitas kehidupan masa kini sudah tak mungkin dibendung lagi. Generasi muda pada era globalisasi yang ruang gerak dan lingkupnya tidak tersekat-sekat lagi, mereka sudah siap untuk pergi kemana saja untuk mengejar karir yang dipilihnya baik yang peluangnya tersedia di dalam negeri sendiri ataupun di luar negeri. Mobilitas itu terjadi karena bermacam-macam sebab. Ada disebabkan pengertian lingkungan, perubahan kontrak kerja dan sebagainya. Perubahan kerja misalnya bisa menyebabkan pasangan-pasangan muda itu bisa berkembang dan berakar di mana saja.

Umumnya, anak-anak selalu bertopang pada keberadaan orang tua, ayah, ibu yang secara harmonis selalu bisa bersama-sama dengan mereka. Suasana apapun yang menjurus kepada kasus perceraian akan sangat sensitif buat mereka, bahkan secara langsung akan menimbulkan sikap penolakan dalam diri mereka. Bila orang tuanya berpisah cerai, biasanya anak-anak akan memohon dan menuntut dengan cara mereka agar orang tuanya dapat bersatu kembali (rujuk).

Pengalaman kehidupan rumah tangga dimasa kecil ini dengan sendirinya akan menjadi cerminan yang berbekas dan berpengaruh pada saat mereka menjadi dewasa. Begitu pula sikap dan tanggung jawab terhadap anak-anaknya nanti tidak akan jauh berbeda gambarannya dengan apa yang telah mereka alami dahulu bersama orang tua mereka.

Para ahli berpendapat bahwa secara umum faktor perhatian dan curahan rasa kasih sayang orang tua akan berpengaruh pada anak sejak lahir. Sebab sejak masa inilah mereka membentuk dan merajut makna kasih sayang sesuai dengan apa yang dialaminya. Jika cinta dan kasih sayang orang tua memadai maka akan tumbuh sikap kasih sayang sang anak sepenuhnya secara normal dan mereka akan membentuk anggapan bahwa semua orang di dunia ini pada umumnya ramah serta memiliki sikap bersahabat dan memiliki perasaan kasih. Akan tetapi menunjukkan rasa cinta dan membentuk simbol kemesraan yang bersifat badaniah haruslah dibatasi dan diperhatikan benar, agar tidak salah kaprah. Karena biasanya menjelang usia tiga tahun, kasih sayang anak terutama ditujukan pada orang tuanya yang berlawanan jenis dengannya dan disertai pula oleh adanya unsur-unsur sex (menurut Teori Sigmund Freud dalam kasus Odipus-complex dan Electra-complex).

Semua anak dilahirkan dengan suatu kapasitas untuk bersifat kasih sayang yang harus dikembangkan. Pada usia dua bulan umumnya mereka sudah mulai dapat tersenyum jika ibunya mendesak-desak, lantas pada usia empat bulan mereka akan menggeliat kesenangan dan respon ceria kalau seseorang mengajaknya berbicara. Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh dari lingkungan keluarganya akan membuat seorang anak berkembang secara normal tanpa mengalami hambatan-hambatan emosional setelah dia dewasa kelak. Sesungguhnya sebuah perkawinan yang berlandaskan cinta kasih dan mampu mengembangkan cinta itu ke tahap yang lebih tinggi akan membuat rumah tangga akan menjadi stabil dan berbahagia. Sebab dalam ikatan rumah tangga ini kedudukan cinta kasih suami-istri sangat diperlukan begitu pula cinta kasih sayang mereka terhadap anaknya. Banyak orang berpendapat, jika cinta kasih hanya ada dari sebelah pihak saja dan bersifat memonopoli maka kebahagiaan rumah tangga akan terganggu yang akan membuat sang partnernya lebih mencurahkan kasih sayang kepada anak secara berlebihan. Padahal sebenarnya cinta kasih orang tua terhadap anaknya akan dapat menguatkan hubungan kasih sayang dan memperkuat jalinan mesra kedua orang tua tersebut.

Setiap insan yang berjiwa kasih sayang biasanya menyimpan potensi untuk dapat hidup bahagia sebab tidak ada yang dikhawatirkan, ia selalu ikhlas dengan segudang kemaafan yang membuatnya pasrah dan bahagia. Hal ini akan membuat orang lain turut simpati terhadapnya dan ingin membahagiakannya. Semakin banyak orang memberikan cinta kasih maka akan makin besar pula peluang kasih sayang yang akan mereka peroleh dari orang lain, termasuk kasih sayang dari anak-anak mereka, sehingga tepatlah pepatah mengatakan : “Apa yang ditanam itulah yang dipanen”.

E Cinta Yang Membawa Kematian

Cinta adalah suatu hal yang cukup unik. Cinta dan kehidupan memiliki hubungan yang erat bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang, sulit dipisahkan, mungkin karena cinta adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, di mana ada manusia pasti terdapat persoalan cinta.

Dalam diskusi persoalan cinta bagi kehidupan manusia sering dimunculkan “aneka ragam cinta”, dari yang muda yang bercinta sampai yang kakek yang bercinta semuanya memakai istilah bermacam-macam. Ada “cinta monyet”, “cinta buta”, “cinta kilat”, “cinta nafsu”, “cinta kontrakan”, “cinta papa dan mama”, sampai pada “cinta tanah air” dan “cinta Tuhan”. Tampaknya mengenai istilah cinta ini terdapat kamusnya tersendiri.

Bolehkan manusia bercinta ? Konon menurut sabda alam, dunia diciptakan atas dasar cita. Kalau demikian halnya dunia plus segala isinya ini tak pernah tercipta tanpa cinta Tuhan dan atas dasar cintalah semuanya terjadi. Atas dasar cinta Tuhan dan untuk mengabdi kepada-Nya Adam dan Hawa beranak cucu memperbanyak keturunan. Tetapi apakah sekedar begitu saja cinta ? Maksudnya apakah cinta itu sekedar mekanisme kejiwaan manusia yang mendorongnya untuk mengembangbiakkan keturunan dan menggapai kesejahteraan ? Agaknya sebaliknya juga terjadi, terdapat sebuah cinta yang identik dengan sebuah undangan menjemput kereta maut. Di sini cinta sama sekali bukan dimaksudkan untuk mencari partner dan hidup bersama untuk melahirkan keturunan melainkan cinta adalah suatu ikrar yang dijalin bersama untuk kemudian secara bersama-sama memasuki lobang kematian sebagaimana yang terjadi pada kisah Romeo dan Yuliet.

Kisah cinta ala Romeo dan Yuliet sering dilakukan oleh kawula muda dan sering kita dengar dalam sejarah yakni suatu kisah di mana dua sejoli memilih kematian demi cinta. Mengapa demikian ? Apakah karena cinta suci ? Boleh jadi. Ah, mungkin kita akan diberondong oleh pertanyaan di dalam hati apakah cinta itu ada racunnya ? Mari kita bedah persoalan ini.

Sesungguhnya ada faktor yang meracuni cinta itu. Yaitu faktor luar. Maksudnya ada sindrom dalam cinta itu, berupa kendala-kendala yang berusaha meracuni cinta suci. Nah, racun ini bisa menjadi bom waktu yang mematikan satu pihak atau keduanya sekaligus. Untuk itu mari kita lihat siapa gerangan yang membuat barikade yang menghalang cinta itu bersemi. Siapa orangnya, apakah orang tua kita, keluarga, tetangga, Pak RT, nafsu kita sendiri atau jangan-jangan malah si “X” yang merebut pacar anda.

a. Menguak sindrom Romeo dan Yuliet

Sindrom cinta Romeo dan Yuliet adalah persoalah cinta yang di dalamnya terdapat berbagai problema kita semakin rumit dan akhirnya mendorong ornag yang bercinta itu nekad membunuh diri. Menurut Jamaluddin Ancok (pakar psikologi sosial dan UGM) bahwa sindrom cinta Romeo dan Yuliet masing-masing melarang anaknya merajut cinta kasih. Tidak hanya itu bahkan diiringi dengan ancaman akan membunuhnya kalau ketahuan mereka masih juga menjalin hubungan cinta kasih. Orang tua yang kepala batu itu, benar-benar kalap melihat cinta mereka dan pihak orang tua tetap memaksakan anaknya untuk meneriam warisan permusuhan bebuyutan. Tentu saja sikap tersebut ditolak oleh Romeo dan Yuliet. Keluarga Romeo dan keluarga Yuliet memang bermusuhan sejak beberapa generasi. Mereka saling menaruh dendam kesumat. Itulah yang merupakan faktor penyebab terjadinya sindrom cinta yang membawa maut yang akhirnya terkenal dengan sindrom Romeo dan Yuliet.

Kesalahan yang paling fatal karena orang tua melarang bahkan memutuskan cinta anaknya yang telah berurat berakar. Bagaimana seandainya peristiwa itu terjadi pada diri kita ? Kita dapar merasakan bahwa untuk membasmi cinta yang telah berakar ini sama sulitnya sebagaimana membasmi enceng gondok. Sulitnya memutuskan akarnya, kecuali mengeringkan palung-palung di mana enceng gondok itu bersemai dan tumbuh dengan subur. Begitu pula jalinan cinta Romeo dan Yuliet telah berakar dalam membalut batu karang. Kalau terpaksa mesti dipisahkan berarti harus mencabut akar-akarnya yang telah membalut batu karang itu dan bila ini dilakukan tentu akarnya akan putus yang berarti kematian bagi kedua sejoli itu. Karena cinta yang begitu dalam membuat Romeo dan Yuliet telah bersumpah setiap sehidup semati disaksikan oleh bintang dan di dekat mahkamah Sang Pencipta langit dan bumi bahwa mereka akan memilih mati dari pada cinta diputuskan. Inilah yang namanya cinta “kereta biru malam” sebagai membawa peti mati.

b. Semaian Cinta

Begitulah prolog cinta Romeo dan Yuliet. Sebelum sindrom itu terjadi atau sebelum baygon terasa anggur, bagi mereka yang bercinta telah didahului oleh rintisan semai-semai cinta. Dalam peristiwa ini menurut Ancok, bahwa kedua orang tuanyalah yang salah pengertian tetapi ia percaya bahwa orang tua yang bijak tidak akan bertindak hal yang sama dan tidak akan mengambil contoh yang tidak baik dari kasus ini.

Kasus orang tua Romeo dan Yuliet adalah kasus prestise dab gengsi berlebihan yang akhirnya membawa korban pada anak mereka. Romeo dan Yuliet telah menjadi korban tirani kekuasaan pada orang tua. Semestinya orang tua mereka bernostalgia tentang masa muda mereka. Ketika mereka sedang mengalami indahnya masa pacaran. Berlandaskan cinta kasih itu pulalah terlahir manusia Romeo dan Yuliet ke bumi. Patutkah mereka membela status quo ? Kemudian men’tabu’kan semaian cinta anaknya ? Rasanya tidak adil tindakan itu mereka jatuhkan kepada anak-anaknya, terlebih di abad modern ini.

Tetapi itulah yang telah dilakukan oleh “tirani Romeo dan Yuliet”. Nasi telah menjadi bubur. Menyaksikan kedua mayat anaknya mereka menyesal. Di depan tubuh-tubuh yang terkulai lemas tak bernyawa kedua orang tua itu membuat sejarah baru, sejarah penyesalan. Tetapi apakah ini ada manfaatnya ? Hanya bagi mereka yang masih hidup. Menyesal kemudian tiada gunanya.

Semestinya kalau kedua orang tua mereka tidak menghendaki akibat yang mematikan, jauh-jauh sebelumnya ia masih dapat berbuat banyak untuk mencegahnya. Sebagaiman pendapat Ancok bahwa cinta itu mengikuti garis evolusi tertentu, begitulah seolah-olah. Orang tidak akan langsung jatuh cinta, tanpa didahului oleh komunikasi pendahuluan sebelumnya. Setelah kontak pertama terjadi, baru timbul rasa akrab. Di sini sudah mulai ada persentuhan batin atau kontak psikis. Lama-lama kontak batin ini akan menumbuhkan bibit-bibit rasa simpati. Simpati ini lebih dari sekedar rasa akrab, karena sudah ditaburi oleh benih-benih cinta. Rasa kagum, rasa bangga terhadapnya, rasa tertarik dan didukung oleh intensitas pertemuan bisa muncul menjadi rasa cinta. Cinta ini pun masih bertingkat-tingkat. Ada cinta karena kekayaannya, karena cantiknya, karean kepribadiannya dan banyak lagi macamnya.

Di sinilah orang tua dituntut untuk bersikap sebijaksana mungkin memperhatikan perkembangan cinta anaknya. Kalau ingin melarang karena menurut pertimbangan orang tua akan berakibat jelek pada anaknya, misalnya, maka cegahlah sedini mungkin, jangan sampai setelah si anak benar-benar cinta pada kekasihnya. Apalagi setelah mereka itu pernah melakukan hubungan sebadan, sungguh susah untuk melerai dan memisahkannya. Yang bijaksana, carilah jalan keluar.

c. Keluar dari kemelut

Seperti yang telah disebutkan di atas, ambillah tindakah preventif sedini mungkin. Tidak pada saat cinta kedua sejoli telah subur bersemi dan mereka menjadi satu. Bukan pada saat cinta itu telah diikat dengan sumpah sehidup semati dan disaat cinta itu menemukan bentuknya yang paling unik dan rumit. Kalau sudah menginjak pada fase ini, hanya ada satu cara kata buat orang tua “Biarkan Mereka Bercinta”!.

Bagaimana caranya agar hal semacam ini tidak terjadi ? Caranya bukan melarang mereka bercinta sama sekali, atau biarkan mereka bercinta, melainkan harus diberikan solusi dan saluran yang positif. Sebenarnya orang tua akan bingung apabila ia dari semula tidak peduli dengan perkembangan cinta anaknya. Apalagi dengan sikap acuh tak acuh dari orang tua. Orang tua harus mengikuti perkembangan cinta anaknya, bukan berarti ia ikut bercinta. Sikap mendidik orang tua, apabila ia memperhatikan kebutuhan psikis anaknya di samping kebutuhan fisik, berarti orang tua memberikan jalan keluar untuk disalurkan pada hal-hal yang positif dan berguna bagi masa depan anak.

Terdapat saat-saat yang baik bagi ornag tua, kapan harus mengatakan “no way”, pada anaknya. Dan dicari pula pada saat apa kita mengatakan “Okey!” pada si anak yang mulai mengenal cinta.

Sindrom Romeo dan Yuliet adalah salah satu contoh kesalahan orang tua dalam mendidikan anaknya. Kesalahan ini telah merusak segalanya. Tetapi harapan kita jangan pula dibuai mabuk cinta, sebab resikonya parah dan fatal seperti kisah Romeo dan Yuliet yang telah membara cintanya, malah orang tua menyiram bensin sehingga api cinta semakin berkobar, semuanya jadi hangus terberangus. Agaknya, dalam cinta masih berlaku kamus “semakin dilarang semakin ngoyo”, “semakin mencuri-curi semakin nikmat”. Itulah keunikan cinta, selain mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, juga dapat mendatangkan kesengsaraan dan kematian.

Últimos trabajos

Puedes usar esta parte del sidebar para mostrar tus últimos trabajos, crear una galería con tus imágenes de Flickr, insertar anuncios publicitarios o si lo deseas para añadir una breve descripción de tu sitio.

Etiquetas

Aquí puedes añadir una nube de tags o cualquier otra cosa que desees, como un bloque de anuncios, una galería de imágenes, tu perfil de usuario...